Pages

0 komentar

Belajar Berhusnudzan Terhadap Allah

KISAH ini terjadi pada tahun 1950.
Seorang pemimpin suatu fraksi di
parlemen RI, semua keluarganya
tinggal di Bandung. Untuk
kelancaran tugas dan menempatkan
pada lingkungan sosial yang
kundusif bagi pendidikan anak-
anaknya, ia memilih tinggal sendiri
di rumah dinas Jakarta. Setiap Sabtu
sore, ia pulang ke Bandung dan
kembali lagi ke Jakarta pada hari
Senin berikutnya.
Pada Sabtu sore –sebagaimana
biasa– beliau bermaksud pulang ke
Bandung dengan menumpang
pesawat Dakota. Pesawat andalan
anggota DPR Pusat pada era Orde
Lama (Orla). Beliau telah membeli
tiket pesawat, tetapi setibanya di
Bandara Kemayoran, tiba-tiba
ditegur oleh mahasiswi yang belum
beliau kenal sebelumnya. Pemudi itu
menjelaskan bahwa ia baru saja
menyelesaikan ujian akhir di salah
satu Perguruan Tinggi Negeri di
Jakarta, dia ingin segera pulang ke
Bandung karena pada Sabtu malam
akan melaksanakan akad nikah,
tetapi saat itu ia kehabisan tiket
pesawat. Dengan sangat terpaksa ia
memohon dengan hormat kepada
anggota Legislatif –sebagai orang
yang sama-sama berasal dari
Bandung – agar berkenan
membantunya dengan memberikan
tiket beliau itu kepadanya dengan
diganti uang – supaya bisa
melangsungkan ijab qabul dan pesta
pernikahannya sesuai rencana.
Anggota parlemen itu tertegun
sejenak. Beliau sadar bahwa hari
Sabtu adalah kesempatan sekali
seminggu untuk menjenguk dan
berbagi (sharing) dengan
keluarganya di Bandung, sementara
itu beliau bisa merasakan betapa
kesulitan yang dihadapi oleh gadis
seusia putrinya itu. Seandainya
putrinya sendiri mengalami
peristiwa serupa, ia juga
mengharapkan pertolongan yang
sama. Akhirnya, dengan terpaksa,
beliau memutuskan untuk menunda
kepulangannya ke Bandung dan
menyerahkan tiket pesawat kepada
gadis tersebut.
Betapa bahagianya si gadis tak
dikenal itu. Ia sebentar lagi akan
merasakan peristiwa yang paling
berkesan dalam kehidupan.
Bersanding dengan kekasih, si
belahan hati tanpa hambatan berarti.
Ia mengatakan kepada sang bapak
pejabat tadi, “Terima kasih, semoga
Allah Swt membalas budi baik
Bapak dengan kebaikan yang
banyak. Jazakumullahu Khairan
katsiran, ” ujarnya. Meski agak sedikit
masgul dan kecewa beliau pulang
kembali ke rumah dinas di Jakarta.
Beberapa saat kemudian beliau
duduk termenung di ruang depan
rumah dinas seorang diri. Dalam
hati beliau muncul sedikit sesal
karena membayangkan kecemasan
yang dialami keluarganya di
Bandung. Melepaskan perasaan
rindu dengan semua anggota
keluarganya terhambat. Di saat
bayangan kekecewaan berkecamuk
dalam perasaannya, beliau tersentak
dengan adanya berita yang tidak
sengaja didengar dari radio RRI
Jakarta yang mengabarkan bahwa
pesawat terbang yang akan
ditumpanginya tadi mengalami
kecelakaan. Semua awak dan
penumpangnya tewas seketika.
“Inna lillahi wa inna ilaihi
raaji’un.” (Sesungguhnya kita milik
Allah Swt dan sesungguhnya
kepada-Nya kita kembali).
Entah, perasaan apa yang dirasakan
dalam dadanya. Di satu sisi ia
bersyukur karena batal pergi. Di sisi
lain, ia sedih mengingat nasib gadis
yang menggantikan tempat
duduknya dalam pesawat naas
tersebut. Ia baru percaya akan takdir
Allah. Rupanya gadis yang
bersikeras hati mengganti tiket beliau
sekedar untuk menemukan suratan
takdir dari Allah swt.
“ Astaghfirullah,” (aku mohon
ampun kepada Allah), sahutnya
berulang-ulang.
Ridho dengan yang Tidak Kita
Suka
Jika direnungkan secara lebih
cermat, berbagai peristiwa
kehidupan ini, sesungguhnya terjadi
di luar rencana kita. Kehidupan ini
dengan berbagai dinamika dan
fluktuasinya merupakan rahasia
Tuhan. Karakteristik kehidupan ini
terus berputar mentaati kekuatan
fitri, laksana roda pedati dan timbul-
tenggelam dan muncul-hilang. Ada
peristiwa yang semula kita
persepsikan sebagai kesedihan,
kepahitan, kegetiran, tetapi
didalamnya mengandung
kebijaksanaan Tuhan (hikmah).
Pepatah bahasa Arab mengatakan:
“ Ad Dunya mazra’tul ilm” (dunia
adalah ladang ilmu pengetahuan).
Romantika kehidupan
sesungguhnya menyimpan
berbagai pelajaran (madrastul
hayah).
Ahli sastra Mesir Ahmad Syauqi Bek
mengatakan: “Engkau dilahirkan
ibumu dalam keadaan menangis
(membayangkan carut marutnya
kehidupan), sedangkan orang-orang
di sekelilingmu tertawa (karena
kedatangan anggota keluarga baru
yang diharapkan membantu
(mewarisi) tugas-tugas kehidupan..”
Seringkali kita tidak menginginkan
sesuatu, namun di baliknya
membawa keberuntungan.
Menyakitkan memang, sesuatu
yang tidak dihendaki terjadi pada diri
kita. Tetapi, di antara yang
mengantarkan kita ke surga adalah
menerima dengan ridho keadaan
yang tidak kita sukai. Karena, tiada
kebahagiaan sejati melebihi dari
kenikmatan di balik musibah. Uang
gaji yang kita terima secara rutin
dengan jumlah yang sudah kita
ketahui, berbeda rasanya dengan
uang yang kita peroleh secara tiba-
tiba, ndilalah kersane Allah (terjadi
karena kekuasaan Allah), sebagai
efek dari amal saleh yang kita
lakukan dengan keikhlasan.
Dalam pengalaman kehidupan
sehari-hari, betapa banyak karunia
Tuhan yang dianugerahkan kepada
kita dengan bungkus yang tidak
menyenangkan, tetapi di cela-
celanya mengandung
kebijaksanaan, kasih sayang Allah
Swt. Blessing in Disguis (kebaikan
terselubung) pepatah Bahasa
Inggris, ini menunjukkan
keterbatasan kita dalam
memandang dan merancang masa
depan. Kita lemah dalam membaca
dan mengungkap misteri atau
rahasia kehidupan di dunia ini. Di
atas kita ada tangan-tangan ghaib
yang bekerja secara canggih dengan
perencanaan yang matang.
Oleh karena itu agama
membimbing kita dengan salah satu
ajarannya, konsep husnudz dzon
(positif thingking) terhadap Tuhan
pada setiap peristiwa yang terjadi.
Allah Swt memiliki segala sifat
kesempurnaan, kemuliaan dan jauh
dari segala sifat kekurangan. Allah
Swt bisa saja menghendaki sesuatu
dan tidak menginginkan sesuatu,
sesuai dengan keluasan ilmu-Nya.
Yakinlah bahwa Allah Swt itu bersifat
rahman dan rahim. Semua surat
dalam Al-Quran dimulai dengan
‘ bismillahirrahmanirrahim’, sebagai
indikasi sifat yang paling menonjol
dalam diri-Nya adalah kasih dan
sayang. Dia tidak menurunkan
bencana kepada individu, suatu
umat, secara kebetulan, tanpa
berjalan sesuai dengan hukum
sebab akibat (kausalitas) dalam
sunnatullah (hukum sosial.
“Tidaklah Tuhanmu menghancurkan
negeri secara semena-mena
sedangkan penduduknya adalah
orang-orang yang berbuat baik. ”
(QS. Hud (11) : 117).
Dengan berbaik sangka kepada
Tuhan, kepahitan, bencana,
penderitaan, tekanan dan tantangan
kehidupan, tidak membuat kita
rapuh, stagnasi, berputus asa,
kehilangan pegangan. Kegagalan,
ketidakmapanan, justru kita
persepsikan sebagai modal yang
harus kita bayar untuk meraih
sukses. Pepatah bahasa arab
mengatakan: “Likulli mushibati
fawaaidu.” (setiap bencana
mengandung banyak manfaat).
Prasangka Baik
Cobalah direnungkan sejenak.
Seandainya peristiwa naas pesawat
terbang – yang akan membawanya,
tidak beliau ketahui lewat berita tadi –
apakah beliau akan menyadari kasih
sayang Tuhan yang telah
menghindarkannya dari malapetaka
dan musibah dengan
diurungkannya keberangkatannya
itu? Kemungkinan besar tidak.
Mungkin beliau akan tetap menyesal
karena tidak dapat memenuhi
kewajiban beliau terhadap keluarga.
Tetapi, setelah mengetahui semua
kejadian itu berjalan sesuai dengan
rencana suratan takdir-Nya, yang
melepaskannya dari kematian,
barulah beliau menyadari betapa
nikmat, rahmat, keadilan dan kasih
sayang Tuhan, yang terkandung di
balik musibah. Setelah kejadian itu,
ia telah meningkat menjadi manusia
yang pandai bersyukur dan selalu
memohon ampun atas sikap
negative thinking (su ’udzan) kepada
Allah Swt selama ini.
Ajaran positive thinking kepada Allah
swt yang dipahami, dihayati dan
diamalkan seseorang, akan memiliki
kecerdasan emosional
(wujdaniyyah), perasaan
(syu ’uriyyah), spiritual (ruhiyyah)
dalam memandang naik turunnya
kehidupan.
Setiap menemukan hambatan,
segera ia cari hikmahnya. Ia pandai
mengambil pelajaran, yang bisa
menambah kekayaan jiwa,
memperkuat sandaran vertikal,
memperkokoh stamina ruhani,
sebagai aset (bekal) untuk
meneruskan berbagai usaha
menuju kesuksesan yang lebih
besar dan selalu melibatkan-Nya.
Ketika orang lain tidak melihat
secercah harapan, bagi orang yang
melihat kejadian kehidupan dengan
kacamata bening selalu terngiang-
ngiang di dalam telinga batinnya
akan janji Allah Swt. “Ingatlah,
pertolongan Allah itu dekat.” (QS. Al
Baqarah (2) : 214). “Sesungguhnya
beserta kesulitan itu ada
kemudahan. ” (QS. Al Insyirah : 6).
Ayat Allah di atas menjelaskan
kesulitan dengan isim ma ’rifat
(definitif) “al ‘usr”, sedangkan
kemudahan memakai isim nakirah
(infinitif) “yusr”, ini menunjukkan
sesungguhnya setelah kesulitan
yang sedikit itu akan ditemukan
berbagai kemudahan.
Pesan penting berbaik sangka
kepada Allah Swt sejatinya
membangkitkan kelemahan jiwa,
menyalakan spirit batin,
menggerakkan potensi lahir dan
batin kemudian dikerahkannya
menuju kebangkitan kejiwaan.
Dengan berbagai musibah yang
melilit bangsa kita (udara, laut dan
daratan), selayaknya menyadarkan
kita untuk selalu intropeksi diri, dan
meyakinkan diri kita sesungguhnya
badai itu akan berlalu. Bencana
adalah tangga yang mesti dilewati
untuk mensucikan (tazkiyah),
mendidik (tarbiyah), memandu
(ta ’lim), dan mendongkrak (tarqiyah)
kualitas sikap mental dalam skala
kehidupan individu, keluarga,
masyarakat dan bangsa.
0 komentar
Syeikh Muhammad al Ghazali
pernah berkata dalam bukunya
“ Khuluqul Muslim” mengatakan;
“Apabila iman telah menyatu jiwa,
hanya Allah yg paling berkuasa,
segala yg maujud ini hanya
makhluq belaka (mumkinul wujud).
Keyakinan yg kuat dan tumbuh
berkembang dengan subur, laksana
mata air yg tidak pernah kering
sumbernya, yg memberikan
dorongan kepada pemiliknya
semangat pengabdian, ibadat secara
terus-menerus, mampu memikul
tanggngjawab dan menanggulangi
kesulitan dan bahaya yg
dihadapinya. Pengabdian itu
dilakukan tak mengenal lelah sampai
menemui ajal tanpa ada rasa takut
dan cemas. ”
Orang mukmin adalah sosok
manusia yg memiliki prinsip
hidup yg dipeganginya dengan
erat. Ia berkerja sama dengan
siapapun dalam kebaikan dan
ketakwaan. Jika lingkungan sosialnya
mengajak kepada kemungkaran, ia
mengambil jalan sendiri.
Di tengah dunia yg hanya
mememtingkan egoisme, sedikit kita
temukan orang-orang mukin yg
bisa menjaga diri. Sebaliknya, justru
kita banyak temukan kumpulan
orang mukmin yg tak memiliki
harga diri.
Sekedar contoh saja. Di saat dunia
Barat mengkampanyekan budaya
dan nilai-nilai idiologinya, kaum
Muslim tidak terasa juga ikut
termakan dan mengikuti jejaknya.
Semua hal dalam kehidupan selalu
diukur dan dinilai berdasarkan Hak
Asasi Manusia (HAM). Karena Barat
begitu membenci poligami dan
membenturkannya dengan HAM,
lantas para Muslimah kita juga ikut
tertular virusnya. Mereka lupa, Al-
Quran, membolehkannya (kata
membolahkan, bukan berarti
menganjurkan).
Bahkan penolak keras apa yang
dibolehkan Al-Quran ini bukan orang
Yahudi atau orang Nasrani. Justru
mereka adalah para aktivis,
mahasiswa dan ibu-ibu berjilbab.
Ketika Barat membagi-bagi
kelompok menjadi dua; Satu
kelompok disebutnya
"moderat" (yg berarti selalu
menerima ide-ide Barat), Satunya
disebut kelompok
"fundamentalis" (yg selalu
menolak ide Barat), umat Islam-pun
ramai-ramai mengikutinya.
Jangan heran, jika muncul tokoh-
tokoh Islam di sekitar kita seolah
berebut kata “moderat” dengan
maksud agar tak dituduh Barat
sebagai kelompok fundamentalis.
“Oh, kalau kami ini moderat, tak
seperti mereka.”
Ada semacam rasa bangga
menyebut dirinya 'moderat', seolah
ingin sekalian memojokkan saudara
yg lain. Bahkan mereka yg suka
berebut kata itu juga tak pernah
menyadari. Atas hak dan atas dasar
apa seseorang menyebut yg lain
radikal atau fundamenlis? Bahkan
seseorang ketika menuduh
seenaknya pihak lain, pada dasarnya
ia adalah ‘radikal’ dan
'fundamentalis'. Orang Muslim
seperti ini ibarat dua orang
bersaudara yg sedang
menghadapi hewan buas di tengah
hutan. Bukannya saling bekerjasama
dengan saudaranya melawan
binatang buas, ia justru mendorong
punggung saudaranya di depan si
hewan agar dia bisa lari dari
terkaman. Itulah cerminan
sebagaian dari wajah saudara-
saudara kita.
Apalagi di tengah zaman penuh
fitnah seperti ini. Orang berjilbab,
orang yg rajin ke masjid, rajin
ta ’lim, mengamalkan sunnah,
berjenggot, menggunakan simbul-
simbul Islam, maka akan mudah
baginya mendapat gelar “radikal”
atau bahkan cepat-cepat dituduh
“teroris”. Jika tak punya pendirian
teguh pada agama ini, mungkin
banyak orang akan melepaskan
kemuslimannya.
Seorang mukmin di zaman seperti
ini, akan banyak godaan iman. Jika
tidak istiqomah, mudah baginya
'menjual diri ’. Tak sedikit para
remaja putri atau para Muslimah
melepaskan jilbab dan terpaksa
membuka auratnya hanya karena
membela pekerjaanya. Tak sedikit
pula karyawan pria yg melupakan
kewajiban sholat dan mengabaikan
ibadahnya karena membela
pekerjaan atau takut kehilangan
jabatan.
Prinsip Hidup
Rasulullah Muhammad sering
menasehati agar kita menjadi
seorang yg memiliki pendirian
teguh pada agama ini.
Orang mukmin yg sejati
mempunyai harga diri, tidak
melakukan perbuatan-perbuatan
yg hina. Apabila ia terpaksa
melakukan perbuatan-perbuatan
yg tidak pantas. Mukmin yang
punya harga diri, ia juga malu
membuka aib saudaranya atau jika
tau kekurangan saudaranya. Ia malu
mempertontonkan di hadapan
orang banyak jika aib itu diketaui
orang lain.
Seorang mukmin yg memiliki
harga dini, ia pasti berani
menegakkan kebenaran sekalipun
rasanya pahit. Ia rela mendapat
cacian, hinaan atau stigma-stigma
buruk sekalipun. Karena ia tak
memburu urusan jangka pendek
dan kenikmatan sesaat
(mata ’uddunya). Seorang mukmin
teguh pendirianya, bagaikan batu
karang di tengah lautan. Tegar dari
amukan badai dan hempasan
gelombang serta pasang surut
lautan.
Kekuatan jiwa seorang muslim,
terletak pada kuat dan tidaknya
keyakinan yg dipegangnya. Jika
akidahnya teguh, kuat pula jiwanya.
Tetapi jika aqidahnya lemah, lemah
pula jiwanya. Ia tinggi karena
menghubungkan dirinya kepada
Allah Yang Maha Agung dan Maha
Tinggi.
Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia
berkata: Rasulullah SAW memberikan
keputusan terhadap sebuah kasus
antara dua orang laki-laki. Ketika
kedua-duanya sudah pulang, yg
kalah dalam sidangnya ia berkata :
"Hasbiyallahu wa ni ’mal wakil"
(Allahlah yg mencukupkan daku,
dan Dialah sebaik-baik tempat
berlindung).
Orang mukmin adalah sosok
manusia yg memiliki prinsip
hidup yg dipeganginya dengan
erat. Ia berkerja sama dengan
siapapun dalam kebaikan dan
ketakwaan. Namun jika lingkungan
sosialnya mengajak kepada
kemungkaran, ia akan mengambil
jarak bahkan akan “keluar” dari
lingkungan itu. Bukan sebaliknya,
ikut arus. Seorang mukmin sejati dia
akan tetap istiqomah dan amanah,
meski seluruh lingkungannya
tercemah ‘korupsi’.
Rasulullah melarang orang Muslim
tak memiliki pendirian. “Saya
ikut bersama-sama orang, kalau
orang-orang berbuat baik, saya juga
berbuat baik, dan kalau orang-orang
berbuat jahat sayapun berbuat
jahat. Akan tetapi teguhkanlah
pendirianmu. Apabila orang-orang
berbuat kebajikan, hendaklah
engkau juga berbuat kebajikan, dan
kalau mereka melakukan kejahatan,
hendaknya engkau menjauhi
perbuatan jahat itu.” (HR.
Turmudzi).
Karenanya, agar hidup kita
senantiasa terus dinaungi cahaya
Allah dan terus teguh pendirian,
maka iman adalah sumber energi
yg senantiasa memberikan
kekuatan yg tidak ada habis-
habisnya. Iman adalah gelora yg
mengalirkan inspirasi kepada akal
pikiran, maka lahirlah bashirah (mata
hati). Sebuah pandangan yg
dilandasi oleh kesempurnaan ilmu
dan keutuhan keyakinan.
Sebab iman adalah cahaya yg
menerangi dan melapangkan jiwa
kita, dan melahirkam taqwa. Sikap
mental tawadhu (rendah hati), wara‘
(membatasi konsumsi dari yg
halal), qona ’ah (puas dengan karunia
Allah), yaqin (kepercayaan yg
penuh atas kehidupan abadi). Iman
adalah bekal yg menjalar di
seluruh bagian tubuh kita, maka
lahirlah harakah. Sebuah gerakan
yg terpimpin untuk
memenangkan kebenaran atas
kebatilan, keadilan atas kezaliman,
kekauatan jiwa atas kelemahan.
Iman menentramkan perasaan,
mempertajam emosi, menguatkan
tekat dan menggerakkan raga.
*Shalil Hasyim
*dikutip dari Hidayatullah
0 komentar

Menuju Megaproyek Pembangunan Iman

Alhamdulillah iman masih
melekat dalam diri kita. Sekalipun
kita tinggal di gubug reot, di hotel
prodeo, di hutan belantara, di
padang sahara atau hotel, asal
masih ada nikmat iman, itu jauh
lebih berharga dunia dan seisinya.
Karena iman ini hanya diberikan oleh
Allah SWT kepada hamba yg
dipilih dan dicintai-Nya.
Rasulullah Muhammad pernah
berpesan;
ْﻮَﻟ ِﺖَﻧَﺎﻛ َﺎﻴْﻧُّﺪﻟﺍ
ُﻝِﺪْﻌَﺗ َﺪْﻨِﻋ ِﻪَّﻠﻟﺍ
َﺡﺎَﻨَﺟ ٍﺔَﺿْﻮُﻌَﺑ َﺎﻣ ﻰَﻘَﺳ
َﺎﻬْﻨِﻣ َﺔَﺑْﺮُﺷ ٍﺀَﺎﻣ
“Kalau sekiranya kenikmatan dunia
masih ada nilainya di sisi Allah
seberat sayap nyamuk, Allah tidak
akan memberi minum orang kafir
meskipun seteguk air. ” (HR. At
Tirmidzi).
Sebaliknya betapa sengsara dan
menderitanya kehidupan ini jika
lepas dari iman. Apa gunanya harta
yg melimpah, jabatan yg
tinggi, posisi yg strategis, hidup
enak, tidur nyeyak, jika tidak
ditemani oleh Iman. Semua itu akan
menggali lubang kehancuran kita
sendiri (istidraj). Bahkan, di dunia ini
kita tidak akan mampu memaknai
dan menikmati kepemilikan kita, jika
iman tidak mendominasi dan
menjadi panglima di dalamnya.
Oleh karena itu, mumpung kita
sehat, memiliki harta, ada
momentum dan kesempatan, mari
kita mengerahkan tenaga, pikiran,
waktu, dan segala potensi yg kita
miliki untuk membangun keimanan
kita. Pengorbanan yg kita lakukan
untuk meraih manisnya iman
(halawatul Iman), akan
mendatangkan kelezatan spiritual di
dunia dan keselamatan di akhirat.
Membangun iman dalam perspektif
Islam diletakkan dalam skala
prioritas dalam perencanaan
pembangunan, baik jangka pendek,
menengah maupun jangka panjang.
Pembangunan dalam aspek
keyakinan ini dilakukan dengan
penuh keseriusan, bukan asal-
asalan. Pembangunan iman juga
dilakukan secara sistemik. Seluruh
komponen ummat terlibat dalam
menseriusi pekerjaan ini. Hal ini
tercermin jelas pada perencanaan
hingga alokasi sumber dana dan
sumber daya.
Segala kegiatan yg kontra
produktif bagi akselerasi
pembangunan iman ditiadakan dari
diskursus perencanaan
pembangunan. Jangan sampai
terjadi, dengan alasan
pembangunan, maksiat di buka
lebar-lebar, demoralisasi dan
dehumanisasi dibiarkan hanya
karena perlindungan HAM
Sekedar contoh, demi menghindari
wabah HIV/AIDS dipersilahkan
orang memakai kondom terhadap
pasangannya (tanpa melihat sah dan
tidaknya pasangan tersebut). Demi
stabilitas politik dan keamanan politik
machiavelli di halalkan.
Iman yg ditegakkan dalam
kehidupan adalah iman yg hakiki,
bukan iman yg bersifat
formalistik. Tidak sekedar puas
dengan melaksanakan kegiatan
ritual, serimonial, upacara
keagamaan, peringatan hari-hari
besar islam, tabligh akbar, tetapi
KKN tetap dilestarikan.
Membangun masjid di mana-mana,
tempat ibadah megah, tetapi praktek
kekerasan dan kezhaliman politik
dan ketidakadilan distribusi ekonomi
tetap berlangsung.
Limpahan Berkah
Pembangunan iman merupakan
landasan gerak, motivasi, titik tolak
(muntholaq), dalam membangun
sistem kehidupan. Mengakui
keberadaan Allah dan hubungan
yg berketuhanan, humanisme,
mengedepankan nilai-nilai kesucian,
moral, keadilan, kebenaran,
supremasi hukum. Iman
memposisikan Allah sebagai Zat
yg mutlak, Maha Kuasa, Maha
Adil, dan Maha Mengetahui tentang
apa dan bagaimana yg terbaik
bagi manusia. Tuhan memiliki
segala sifat kesempurnaan dan jauh
dari segala sifat kekurangan.
Karenanya, topeng-topeng
kemunafikan tidak lagi ditoleransi
dalam pembagunan iman.
Iman melahirkan manusia yg
berguna sekecil apapun potensi
(thoqoh) yg dimilikinya, bakat
(syakilah) yg diberikan oleh Allah
SWT. Iman melahirkan kekuatan
dalam segala aspek kehidupan.
Kekuatan material dan spiritual,
idealisme dan realistik, individual dan
kolektifitas. Termasuk otak dan
batin, intlektual dan keyakinan.
Iman menumbuhkan kepedulian,
dedikasi, wawasan jauh ke depan,
kedisiplinan, amanah, jujur, militan,
integritas dan keadilan. Dengan iman
mengantarkan manusia menjadi
produktif, dinamis, inovatif dan
kreatif. Karenanya, iman yg benar
akan jauh dari sikap mental malas
dan konsumtif.
Membangun iman memerlukan
pengorbanan, perjuangan dan kerja
keras. Pengorbanan jiwa, harta
yg dilakukan untuk meraih
manisnya beriman (halawatul iman)
akan dibeli oleh Allah dengan surga.
“Sesungguhnya Allah telah membeli
dari orang-orang mukmin diri dan
harta mereka dengan memberikan
surga untuk mereka.\"(QS. At
Taubah : 111).
Dia telah membeli harta dan jiwa
orang-orang beriman dengan
surga, ini adalah permisalan dalam
puncak keindahan gaya bahasa dan
sastra untuk memberikan ganjaran
mujahid.
Allah membuat perumpamaan
bahwa balasan mereka dengan
surga atas pengorbanan harta dan
jiwa di jalan-Nya dalam bentuk
transaksi jual beli.
Berkata Al Hasan: Allah membeli
mereka dengan harga yg mahal,
perhatikanlah kemurahan Allah. Dia
yg menciptkan jiwa, Dia pula
yg membelinya. Dia yg
memberikan rezeki harta, Dia pula
yg menghibakannya kepadanya,
kemudian Dia membelinya dengan
harga yg mahal demi
memberikan keuntungan yg
berlipat (Shafwatut Tafasir I : 564).
Iman menjadikan manusia, tenang,
bahagia, lapang dada, karena telah
berbuat kebaikan. Iman
menyadarkan kita bahwa dunia
adalah lahan ujian keikhlasan dan
cobaan serta penuh dengan
tantangan (QS. Al Mulk : 2).
Bahkan memandang problem
sebagai peluang dan tantangan
untuk meningkatkan kualitas.
Dengan iman melihat setiap kejadian
dengan kaca mata positif dan
mengembalikan seluruh persoalan
kepada Allah Swt.
Jika sedang tertimpa musibah dia
mengatakan : innaa lillaahi wa innaa
ilaihi roji ’uun (sesungguhnya kami
milik Allah dan sesungguhnya
kepada-Nya dikembalikan). Dan
apabila sedang sukses bersyukur
kepada Allah. Ini adalah karunia dari
Rabbku untuk mengujiku apakah
saya bersyukur atau ingkar (QS. An
Naml : 40).
Iman secara otomasti membuat
orang lebih sabar, tahan uji dalam
kesulitan dan bersyukur pada saat
lapang. “Ash Shabru qorinul
yaqin” (shabar adalah teman akrab
keyakinan). Iman memandang
fluktuasi kehidupan dengan
semangat yg sama. Kegagalan
dan kesuksesan akan dipergilirkan
dan digulirkan oleh Allah kepada
yg di kehendaki-Nya. Iman
mengajarkan sikap independen.
Iman melahirkan sikap optimisme
dan kekuatan rohani yg maha
dahsyat dalam menghadapi
persoalan yg melilit kehidupan.
Karena tidak ada daya dan kekuatan
selain kekuatan dari Allah. Tidak ada
persoalan rumit yg tidak
ditemukan solusinya, jika Allah
turun tangan (tadakhul rabbani).
Walhasil, iman yg mencerahkan
tadi, akan membukakan limpahan
berkah dari langit dan bumi. Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri
beriman dan bertakawa, pastilah
Kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi,
tetapi mereka mendustakan (ayat-
ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka disebabkan perbuatannya
(QS. Al A ’raf : 96).
“Barangsiapa yg mengerjakan
amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan
yg baik dan sesungguhnya Kami
beri balasan kepada mereka dengan
pahala yg lebih baik dari apa yg
telah mereka kerjakan. ” (QS. An
Nahl : 97).
*Shalih Hasyim
*dikutip dari Hidayatullah
0 komentar

Membangun Visi Hidup Lebih Bernas

Sesungguhnya tujuan puncak
seorang Muslim dalam
kehidupannya di dunia adalah
menggapai ridha Allah SWT.
Dengan ridha-Nya semua
kebutuhan manusia secara jasmani
dan ruhani terpenuhi. Bahagia di
dunia dan selamat di akhirat.
Secara individu semua orang ingin
merasakan kehidupan yg
berbobot (hayatan thayyiban),
keluarga yg sakinah, mawaddah
wa rahmah, perkampungan yg
diberkahi, negeri yg adil dan
makmur, beberapa negara yg
sejahtera dan penuh ampunan-Nya.
Kualitas kehidupan kita baik secara
infiradi dan jama'i, baik dalam aspek
ideologi, sosial, politik, pendidikan,
kebudayaaan, pertahanan keamanan
berbanding lurus dengan bobot
moralitas kita. Nilai-nilai ketuhanan
searah dengan nilai-nilai produktifitas
(ekonomi berkah).
"Dan sekiranya penduduk negeri
beriman dan bertakwa, pasti Kami
akan melimpahkan kepada mereka
berkah dari langit dan bumi, tetapi
ternyata mereka mendustakan
(ayat-ayat Kami), maka Kami siksa
mereka sesuai dengan apa yg
telah mereka kerjakan." (QS. Al-Araf
(7) : 96).
Sasaran keimanan pada ayat di atas
adalah person (ahlun) dan
diperagakan dalam sebuah
lingkungan sosial tersendiri (al
Qura). Kawasan yg tidak
terkontaminasi oleh hukmul
jahiliyah, dhannul jahilyyah,
hamiyyatul jahiliyyah dan tabarrujul
jahiliyah.
Karena Islam adalah agama dakwah
dan dinul intisyar (agama yg
harus disebar). Seorang mukmin itu
akan terpelihara idealismenya jika
didukung oleh orang-orang
terdekatnya. Minimal anak dan istri
dan tetangga.
Jadi, keridhaan Allah SWT akan
menjamin kehidupan seorang
Muslim secara utuh dan seimbang.
Potensi manusia akan digali secara
optimal dan maksimal. Tidak ada
sisi-sisi tertentu yg ditonjolkan,
sementara mengabaikan aspek yg
lain. Tidak ada dikotomi dalam
ajaran Islam. Islam mewadahi
potensi ijtihad, mujahadah dan jihad
secara sinergis.
"Ingatlah para kekasih Allah itu, tidak
ada rasa takut pada mereka dan
mereka tidak bersedih hati. (Yaitu)
orang-orang yg beriman dan
selalu bertakwa. Bagi mereka berita
gembira di dalam kehidupan di
dunia dan di akhirat. Tidak ada
perubahan bagi janji-janji Allah.
Demikian itulah kemenangan yg
agung." (QS. Yunus (10) : 62-64).
Pada ayat tersebut menggunakan
redaksi fiil madhi ‘aamanuu’ (mereka
yg telah beriman). Dan memakai
redaksi fiil mudhari ‘wa kaanuu
yattaqun’ (dan mereka selalu
bertakwa). Jadi keimanan yg
selalu dipelihara dengan taqwa
secara berkesinambungan.
Karena di antara makna fiil mudhari’
adalah lil istimror (secara terus
menerus). Yakni dilakukan dengan
istiqomah (konsisten). Di antara ciri
amal seorang Muslim adalah susul
menyusul bagaikan rintik-rintik
hujan. Karena amal yg dicintai
oleh Allah SWT adalah yg
dilakukan secara ajeg (berantai),
sekalipun sedikit. Sedikit demi sedikit
tetapi ada kenaikan grafik.
"Sesungguhnya orang-orang yg
berkata : Tuhan kami adalah Allah
kemudian mereka meneguhkan
pendirian mereka maka malaikat-
malaikat akan turun mereka (dengan
berkata) : Janganlah kamu merasa
takut dan janganlah kamu bersedih
hati dan bergembiralah kamu
dengan (memperoleh) surga yg
telah dijanjikan kepadamu." (QS.
Fussilat (41) : 30).
Membangun Komitmen
Syarat utama dalam membangun
komitmen keislaman adalah
keyakinan seorang Muslim harus
steril dari berbagai kontaminasi
kekafiran, kemunafikan, kezaliman
dll. Dan mengimani apa-apa yg
diyakini oleh pendahulu yg shalih
dan para imam yg teruji otoritas
keilmuan dan kebersihan hatinya,
keshalihan, ketakwaannya serta
pemahamannya yg bersih, benar
dan lurus terhadap Allah SWT.
Banyak wasilah (perantara) menuju
surga dan ridha-Nya. Tetapi, secara
global (mujmal) disimpulkan ada
tiga amalan.
Pertama, ridho kepada Allah SWT
melebihi dari mahabbah
(kecintaan). Sebab kecintaan
hanya berukuran sesuai dengan
wadah hati (tempat tumbuhnya
benih cinta), sedangkan ridha
meluap (luber. bahasa Jawa).
Ketika kita ingat kalimat Rabb.
Tergambar dalam do'a yg kita
panjatkan untuk sosok kedua
orangtua.
"Ya Rabbku ampunilah dosa-dosaku
dan kedua orangtuaku dan
rahmatilah keduanya sebagaimana
mereka merawatku di waktu
kecil." (QS. Al Isra (17) : 23).
Bukankah kita selalu berhutang budi
kepada mereka, selalu ingin
membalas jasa-jasanya dan ingin
bertemu dan dekat dengannya. Dan
tidak ingin meninggalkannya untuk
selama-lamanya. Karena kita
meyakini, mustahil kita memiliki
keturunan yg shalih/shalihah jika
kita tidak shalih kepada mereka.
Dengan menjadikan Allah sebagai
Rabb, aqidah kita steril dari berbagai
penyimpangan pola piker dan
perilaku.
Kedua, ridha bahwa Islam
Sebagai Jalan Kehidupan
(minhajul hayah)
Islam adalah celupan Allah SWT
(wadh ’un ilahi) bagi yg
tercerahkan (lidzawil ‘uqulis salimah)
untuk menjamin kemaslahatan di
dunia dan keselamatan di akhirat
(lishalahi ma ’asyihim wa
ma’adihim).
Syariat Islam adalah perpaduan
antara keyakinan dan amal shalih
(iman dan islam). Jika islam dan
iman terpisah, pertama bermakna
kepasrahan secara utuh kepada
Allah SWT dan kedua keyakinan
secara penuh terhadap keputusan-
Nya. Jika iman dan islam menyatu,
bermakna islam secara kaffah. Jadi
jika iman dan islam terpisah
cenderung menyatu dan jika
menyatu condong untuk terpisah.
Karena kedua-duanya seiring, tidak
bisa dipisah-pisahkan.
Amal yg tidak berlandaskan iman
sama jeleknya dengan iman yg
tidak melahirkan amal. Celakalah
orang yg pandai dalam berislam
tetapi miskin aplikasi. Karena islam
tidak sebatas serimonial tetapi
serangkaian amal shalih. Dakwah
yg paling efektif adalah melalui
muslim yg menjadikan dirinya
mushaf berjalan.
Islam sebagai fikrah dan minhajul
hayah, setidaknya mengandung arti
turunan (derivat). Arti tersebut
menggambarkan tentang sistem
kehidupan yg utuh dan
seimbang. Pertama, salima minal
mustaqdzirat (steril dari kontaminasi
kekeruhan niat). Setting sosial
menggambarkan penghuni yg
mudah salam, sapa, supel, senyum
dalam pergaulan. Kedua, at-Taslim
(patuh pada Allah dan Rasul-Nya).
Ajaran sendika dhawuh (taat)
tampak dalam perilaku
penduduknya yg qanaah dalam
menerima rezki.
Mereka dengan keluguannya
memandang patuh kepada sesepuh
merupakan bagian tak terpisahkan
dari ketaatan kepada Allah SWT.
Ketiga, as Silmu (damai).
Sebagaimana pada umumnya
penduduk desa, kehidupan yg
penuh kedamaian sangat menonjol.
Saling berbagi, saling
membutuhkan, saling berempati,
merupakan nilai-nilai curtural yg
membuat saya dan teman-teman
kerasan. Keempat, As Salam
(kesejahteraan).
Nilai-nilai keislaman yg diwariskan
tokoh pendahulu menjadikan arah
kehidupan mereka lebih baik,
utamanya dalam aspek ekonomi.
Melihat kondisi social ekonomi yg
kembang kempis dan motivasi para
khatib untuk bekerja keras, banyak
diantara mereka yg pergi
merantau ke luar negeri (Malaysia).
Disamping mendirikan warung di
kota Gresik dan mengelola
pertambakan. Kelima, As Salamatu
(keselamatan). Nilai keislaman yg
terakhir ini yg menjaga keutuhan
kehidupan social di sebuah negara.
Masing-masing individu menjadi
penguat bagi yg lain.
Jika kita mengatur kehidupan
manusia yg di dalam dirinya
penuh rahasia, maka akan terjadi
kesalahan fatal. Aturan manusia
bersumber dari keterbatasan akal.
Tentu hanya didasari syubhat (salah
paham terhadap kebenaran) dan
syahwat (hawa nafsu). Betapa
celakanya jika manusia mengikuti
aturan yg relative dan nisbi.
Sungguh, yg memahami persis
eksistensi manusia hanyalah Yang
Maha Menciptakan.
Ketiga: Ridha, Muhammad
Sebagai Rasul-Nya
Kecintaan kita kepada Allah SWT
tidak akan terwujud tanpa disertai
kecintaan yg murni kepada
Rasulullah SAW. Berbeda dengan
tokoh dunia, umumnya hanya
unggul dalam satu bidang.
Sedangkan Muhammad SAW
adalah insan kamil (manusia
sempurna), syakhshiyyatun
jaami ’ah (kepribadian yg utuh).
Diakui oleh kawan dan lawan.
Berbagai kelebihan tokoh terkumpul
dalam kepribadiannya. Wajar, jika
seorang mukmin menjadikan beliau
sebagai uswah dan qudwah.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri tauladan yg baik
bagimu (yaitu) yg mengharapkan
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut
Allah.” (QS. Al Ahzab (33) : 21).
Ayat tersebut kita bisa memahami,
ada tiga pintu untuk menjadikan
Rasulullah SAW sebagai panutan
kehidupan kita. Yaitu, Petama :
mengharap perjumpaan dengan
Allah SWT dengan penuh
kerinduan. Orang yg berjumpa
dengan-Nya akan mendapatkan
pelayanan khusus dari-Nya. Dekat
dengan pertolongan-Nya, dekat
dengan rahmatnya, dekat dengan
maghfirah-Nya, dekat dengan ridha
dan surga-Nya. Kedua :
Mendambakan kehidupan akhirat.
Akhirat adalah harapan terakhir
untuk menyempurnakan balasan
dari-Nya. Dan bekal untuk menuju
kehidupan abadi, hanya bisa
dilakukan di dunia. Maka, dunia
harus dijadikan ladang untuk
beramal sebanyak mungkin.
Ketiga : Banyak berzikir kepada-Nya.
Dengan selalu mengingat-Nya akan
terlibat dalam mengelola dan
mengurai kerumitan kehidupan
yg kita hadapi.
*Shalih Hasyim
*dikutip dari Hidayatullah
0 komentar

Menjadi Muslim yang Berpendirian

Muhammad Qutub dalam salah
karya spektakulernya “Manhajut
Tarbiyah Al-Islamiyyah Nadhariyyah
wa Tathbiqan ” mengatakan, tiga
komponen yg amat menentukan
keberhasilan sebuah pendidikan.
Yaitu input, proses dan out-put. Jika
salah satu unsur dari ketiganya
kurang ideal, maka mustahil
melahirkan out-put yg diharapkan
pula.
Karenanya, bagi seorang Muslim,
iman harusnya menjadi input
penting agar bisa melahirkan sikap
dan kepribadian yg baik.
Iman adalah sumber energi jiwa
yg senantiasa memberikan
kekuatan yg tidak ada habis-
habisnya untuk bergerak memberi,
menyemai kebaikan, kebenaran dan
keindahan dalam taman kehidupan,
atau bergerak mencegah kejahatan,
kebatilan dan kerusakan di
permukaan bumi.
Iman juga merupakan gelora yg
mengalirkan inspirasi kepada akal
pikiran, yg kelak melahirkan
bashirah (mata hati). Sebuah
pandangan yg dilandasi oleh
kesempurnaan ilmu dan keutuhan
keyakinan.
Iman juga sebuah cahaya yg
menerangi dan melapangkan jiwa
kita, yg kelak melahirkan taqwa.
Sikap mental tawadhu (rendah hati),
wara ’ (membatasi konsumsi dari
yg halal), qona’ah (puas dengan
karunia Allah), yaqin (kepercayaan
yg penuh atas kehidupan abadi).
Iman adalah bekal yg menjalar di
seluruh bagian tubuh kita, maka
lahirlah harakah. Sebuah gerakan
yg terpimpin untuk
memenangkan kebenaran atas
kebatilan, keadilan atas kezaliman,
kekuatan jiwa atas kelemahan.
Iman menentramkan perasaan,
mempertajam emosi, menguatkan
tekad dan menggerakkan raga.
Intinya, iman mengubah individu
menjadi baik. Ia mampu mengubah
yg kaya menjadi dermawan, dan
miskin menjadi ‘iffah (menjaga
kehormatan dan harga diri). Ia juga
bisa membuat yg berkuasa
menjadi adil, dan yg kuat menjadi
penyayang, yg pintar menjadi
rendah hati, dan yg bodoh
menjadi pembelajar. Itulah iman.
Syeikh Muhammad Al-Ghazali
berkata dalam bukunya “Khuluqul
Muslim” mengatakan, “Apabila iman
telah menyatu jiwa, hanya Allah
yg paling berkuasa, segala yg
maujud ini hanya makhluq belaka
(mumkinul wujud). Keyakinan yg
kuat dan tumbuh berkembang
dengan subur, laksana mata air
yg tidak pernah kering
sumbernya, yg memberikan
dorongan kepada pemiliknya
semangat pengabdian, ibadat secara
terus-menerus, mampu memikul
tanggung jawab dan menanggulangi
kesulitan dan bahaya yg
dihadapinya. Pengabdian itu
dilakukan tak mengenal lelah sampai
menemui ajal tanpa ada rasa takut
dan cemas. ”
Prinsip Hidup
Orang mukmin adalah sosok
manusia yg memiliki prinsip
hidup yg dipeganginya dengan
erat. Ia berkerja sama dengan
siapapun dalam kebaikan dan
ketakwaan. Jika lingkungan sosialnya
mengajak kepada kemungkaran, ia
mengambil jalan sendiri.
“Janganlah ada di antara kamu
menjadi orang yg tidak
mempunyai pendirian, ia berkata :
Saya ikut bersama-sama orang,
kalau orang-orang berbuat baik,
saya juga berbuat baik, dan kalau
orang-orang berbuat jahat sayapun
berbuat jahat. Akan tetapi
teguhkanlah pendirianmu. Apabila
orang-orang berbuat kebajikan,
hendaklah engkau juga berbuat
kebajikan, dan kalau mereka
melakukan kejahatan, hendaknya
engkau menjauhi perbuatan jahat
itu. ” (HR. Turmudzi).
Orang mukmin yg sejati
mempunyai harga diri, tidak
melakukan perbuatan-perbuatan
yg hina. Apabila ia terpaksa
melakukan perbuatan-perbuatan
yg tidak pantas, perbuatannya itu
ia sembunyikan dan tidak
dipertontonkan di hadapan orang
banyak. Ia masih memiliki rasa malu
jika aibnya diketahui --apalagi-- ditiru
orang banyak.
Karenanya sungguh aneh, saat ini
seorang terdakwa kasus pornografi
– di mana terbukti melakukan
maksiat dan menvideokannya-
masih bisa senyum dan tak merasa
bersalah di depan publik.
Ada pula tipe orang Muslim yg
sering buru-buru menghindari diri
ketika orang lain dan musuh-musuh
agama Islam menuduh sebagai
“teroris” dengan cara menuding
kelompok lain. Alih-alih mencari
aman, kelompok seperti itu masih
tega mengatakan, “kami moderat,
mereka itu radikal.”
Seorang mukmin yg baik, ia
berani menegakkan kebenaran
sekalipun rasanya pahit. Untuk
memenuhi perintah Allah, tidak
untuk memperoleh maksud duniawi
yg rendah dan untuk tujuan
jangka pendek dan kenikmatan
sesaat (mata ’uddunya). Jika ia
membiarkan kebatilan mendominasi
kehidupan, maka imannya seolah
terjangkiti virus kelemahan. Seorang
mukmin teguh pendirianya,
bagaikan batu karang di tengah
lautan. Tegar dari amukan badai dan
hempasan gelombang serta pasang
surut lautan.
Kekuatan jiwa seorang muslim,
terletak pada kuat dan tidaknya
keyakinan yg dipeganginya. Jika
akidahnya teguh, kuat pula jiwanya.
Tetapi jika aqidahnya lemah, lemah
pula jiwanya. Ia tinggi karena
menghubungkan dirinya kepada
Allah Yang Maha Agung dan Maha
Tinggi.
Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik, ia
berkata: Rasulullah SAW memberikan
keputusan terhadap sebuah kasus
antara dua orang laki-laki. Ketika
kedua-duanya sudah pulang, yg
kalah dalam sidangnya ia berkata :
“Hasbiyallahu wa ni’mal wakil
Hasbiyallahu wa ni’mal
wakil.” (Allahlah yg mencukupkan
daku, dan Dialah sebaik-baik tempat
berlindung).
Mendengar perkataan orang yg
kalah itu, yg mungkin seolah-olah
mengeluh, Nabi SAW bersabda :
“Bahwasanya Allah mencela dan
membenci kelemahan, karena itu
hendaklah engkau berlaku bijaksana,
agar engkau jangan mendapati
kekalahan. Maka apabila sudah
berkali-kali engkau bijaksana,
dikalahkan juga engkau, barulah
engkau berkata : Hasbiyallahu
wani ’mal wakil.” (HR. Ahmad).
Orang beriman dalam beramal dan
mengabdi hanya mengharapkan
ridha Allah semata. Ia merupakan
manusia yg menakjubkan. Karena
ia dianggap sebagai inti (jauhar)
daripada unsur-unsur yg ada di
alam semesta. Tak peduli julukan,
stigma atau sebutan negatif oleh
pihak lain.
Iman akan selalu memberikan
ketegaran, keteguhan jiwa kepada
pemiliknya, sekalipun berhadapan
dengan kezaliman raja, bahkan
melawannya.
"Kami sekali-kali tidak akan
mengutamakan kamu daripada
bukti-bukti yg nyata (mukjizat),
yg telah datang kepada kami dan
daripada Tuhan yg telah
menciptakan kami; Maka
putuskanlah apa yg hendak kamu
putuskan. Sesungguhnya kamu
hanya akan dapat memutuskan
pada kehidupan di dunia Ini saja. ”
(QS. Thaha (20) : 72).
Iman-lah memberikan ketenangan
jiwa Nabi Musa as. ketika
dihadapkan dengan kenyataan pahit.
“Maka setelah kedua golongan itu
saling melihat, berkatalah pengikut-
pengikut Musa : Sesungguhnya kita
benar-benar akan tersusul. Musa
menjawab : Sekali-kali tidak akan
tersusul, sesungguhnya Tuhanku
bersamaku, kelak Dia akan memberi
petunjuk kepadaku. Lalu Kami
wahyukan kepada Musa : Pukullah
lautan itu dengan tongkatmu. Maka
terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap
belahan adalah bagaikan gunung
yg besar. ” (QS. 26 : 61-63).
Iman-jualah yg menjadikan
Nabiyullah Muhammad SAW tertidur
dengan pulas sekalipun nyawanya
sedang terancam.
“Jikalau kamu tidak menolongnya
(Muhammad) maka sesungguhnya
Allah telah menolongnya (yaitu)
ketika orang-orang kafir (musyrikin
Mekah) mengeluarkannya (dari
Mekah) sedang dia salah seorang
dari dua orang ketika keduanya
berada dalam gua, di waktu dia
berkata kepada temannya: Janganlah
kamu berduka cita, sesungguhnya
Allah beserta kita. ” (QS. 9 : 40).
Karenanya, kedudukan, kekayaan,
kepandaian yg tidak ditemani oleh
iman, ia hanya akan membuat
pemburunya kecewa. Seolah
disangka berupa air yg bisa
membasahi kerongkongan yg
kering karena kehausan. Padahal
setelah didatanginya hanya berupa
fatamorgana.
“Dan orang-orang kafir amal-amal
mereka adalah laksana fatamorgana
di tanah yg datar, yg disangka
air oleh orang-orang yg dahaga,
tetapi bila didatanginya air itu dia
tidak mendapatinya sesuatu apapun.
dan didapatinya (ketetapan) Allah
disisinya, lalu Allah memberikan
kepadanya perhitungan amal-amal
dengan cukup dan Allah adalah
sangat cepat perhitungan-
Nya . ” (QS. 24 : 39).
Karenanya, kata Allah, orang-orang
kafir, karena amal-amal mereka tidak
didasarkan atas iman, tidaklah
mendapatkan balasan dari Tuhan di
akhirat, walaupun di dunia mereka
mengira akan mendapatkan balasan
atas amalan mereka itu.
*Shalih Hasyim