Pages

Belajar Berhusnudzan Terhadap Allah

KISAH ini terjadi pada tahun 1950.
Seorang pemimpin suatu fraksi di
parlemen RI, semua keluarganya
tinggal di Bandung. Untuk
kelancaran tugas dan menempatkan
pada lingkungan sosial yang
kundusif bagi pendidikan anak-
anaknya, ia memilih tinggal sendiri
di rumah dinas Jakarta. Setiap Sabtu
sore, ia pulang ke Bandung dan
kembali lagi ke Jakarta pada hari
Senin berikutnya.
Pada Sabtu sore –sebagaimana
biasa– beliau bermaksud pulang ke
Bandung dengan menumpang
pesawat Dakota. Pesawat andalan
anggota DPR Pusat pada era Orde
Lama (Orla). Beliau telah membeli
tiket pesawat, tetapi setibanya di
Bandara Kemayoran, tiba-tiba
ditegur oleh mahasiswi yang belum
beliau kenal sebelumnya. Pemudi itu
menjelaskan bahwa ia baru saja
menyelesaikan ujian akhir di salah
satu Perguruan Tinggi Negeri di
Jakarta, dia ingin segera pulang ke
Bandung karena pada Sabtu malam
akan melaksanakan akad nikah,
tetapi saat itu ia kehabisan tiket
pesawat. Dengan sangat terpaksa ia
memohon dengan hormat kepada
anggota Legislatif –sebagai orang
yang sama-sama berasal dari
Bandung – agar berkenan
membantunya dengan memberikan
tiket beliau itu kepadanya dengan
diganti uang – supaya bisa
melangsungkan ijab qabul dan pesta
pernikahannya sesuai rencana.
Anggota parlemen itu tertegun
sejenak. Beliau sadar bahwa hari
Sabtu adalah kesempatan sekali
seminggu untuk menjenguk dan
berbagi (sharing) dengan
keluarganya di Bandung, sementara
itu beliau bisa merasakan betapa
kesulitan yang dihadapi oleh gadis
seusia putrinya itu. Seandainya
putrinya sendiri mengalami
peristiwa serupa, ia juga
mengharapkan pertolongan yang
sama. Akhirnya, dengan terpaksa,
beliau memutuskan untuk menunda
kepulangannya ke Bandung dan
menyerahkan tiket pesawat kepada
gadis tersebut.
Betapa bahagianya si gadis tak
dikenal itu. Ia sebentar lagi akan
merasakan peristiwa yang paling
berkesan dalam kehidupan.
Bersanding dengan kekasih, si
belahan hati tanpa hambatan berarti.
Ia mengatakan kepada sang bapak
pejabat tadi, “Terima kasih, semoga
Allah Swt membalas budi baik
Bapak dengan kebaikan yang
banyak. Jazakumullahu Khairan
katsiran, ” ujarnya. Meski agak sedikit
masgul dan kecewa beliau pulang
kembali ke rumah dinas di Jakarta.
Beberapa saat kemudian beliau
duduk termenung di ruang depan
rumah dinas seorang diri. Dalam
hati beliau muncul sedikit sesal
karena membayangkan kecemasan
yang dialami keluarganya di
Bandung. Melepaskan perasaan
rindu dengan semua anggota
keluarganya terhambat. Di saat
bayangan kekecewaan berkecamuk
dalam perasaannya, beliau tersentak
dengan adanya berita yang tidak
sengaja didengar dari radio RRI
Jakarta yang mengabarkan bahwa
pesawat terbang yang akan
ditumpanginya tadi mengalami
kecelakaan. Semua awak dan
penumpangnya tewas seketika.
“Inna lillahi wa inna ilaihi
raaji’un.” (Sesungguhnya kita milik
Allah Swt dan sesungguhnya
kepada-Nya kita kembali).
Entah, perasaan apa yang dirasakan
dalam dadanya. Di satu sisi ia
bersyukur karena batal pergi. Di sisi
lain, ia sedih mengingat nasib gadis
yang menggantikan tempat
duduknya dalam pesawat naas
tersebut. Ia baru percaya akan takdir
Allah. Rupanya gadis yang
bersikeras hati mengganti tiket beliau
sekedar untuk menemukan suratan
takdir dari Allah swt.
“ Astaghfirullah,” (aku mohon
ampun kepada Allah), sahutnya
berulang-ulang.
Ridho dengan yang Tidak Kita
Suka
Jika direnungkan secara lebih
cermat, berbagai peristiwa
kehidupan ini, sesungguhnya terjadi
di luar rencana kita. Kehidupan ini
dengan berbagai dinamika dan
fluktuasinya merupakan rahasia
Tuhan. Karakteristik kehidupan ini
terus berputar mentaati kekuatan
fitri, laksana roda pedati dan timbul-
tenggelam dan muncul-hilang. Ada
peristiwa yang semula kita
persepsikan sebagai kesedihan,
kepahitan, kegetiran, tetapi
didalamnya mengandung
kebijaksanaan Tuhan (hikmah).
Pepatah bahasa Arab mengatakan:
“ Ad Dunya mazra’tul ilm” (dunia
adalah ladang ilmu pengetahuan).
Romantika kehidupan
sesungguhnya menyimpan
berbagai pelajaran (madrastul
hayah).
Ahli sastra Mesir Ahmad Syauqi Bek
mengatakan: “Engkau dilahirkan
ibumu dalam keadaan menangis
(membayangkan carut marutnya
kehidupan), sedangkan orang-orang
di sekelilingmu tertawa (karena
kedatangan anggota keluarga baru
yang diharapkan membantu
(mewarisi) tugas-tugas kehidupan..”
Seringkali kita tidak menginginkan
sesuatu, namun di baliknya
membawa keberuntungan.
Menyakitkan memang, sesuatu
yang tidak dihendaki terjadi pada diri
kita. Tetapi, di antara yang
mengantarkan kita ke surga adalah
menerima dengan ridho keadaan
yang tidak kita sukai. Karena, tiada
kebahagiaan sejati melebihi dari
kenikmatan di balik musibah. Uang
gaji yang kita terima secara rutin
dengan jumlah yang sudah kita
ketahui, berbeda rasanya dengan
uang yang kita peroleh secara tiba-
tiba, ndilalah kersane Allah (terjadi
karena kekuasaan Allah), sebagai
efek dari amal saleh yang kita
lakukan dengan keikhlasan.
Dalam pengalaman kehidupan
sehari-hari, betapa banyak karunia
Tuhan yang dianugerahkan kepada
kita dengan bungkus yang tidak
menyenangkan, tetapi di cela-
celanya mengandung
kebijaksanaan, kasih sayang Allah
Swt. Blessing in Disguis (kebaikan
terselubung) pepatah Bahasa
Inggris, ini menunjukkan
keterbatasan kita dalam
memandang dan merancang masa
depan. Kita lemah dalam membaca
dan mengungkap misteri atau
rahasia kehidupan di dunia ini. Di
atas kita ada tangan-tangan ghaib
yang bekerja secara canggih dengan
perencanaan yang matang.
Oleh karena itu agama
membimbing kita dengan salah satu
ajarannya, konsep husnudz dzon
(positif thingking) terhadap Tuhan
pada setiap peristiwa yang terjadi.
Allah Swt memiliki segala sifat
kesempurnaan, kemuliaan dan jauh
dari segala sifat kekurangan. Allah
Swt bisa saja menghendaki sesuatu
dan tidak menginginkan sesuatu,
sesuai dengan keluasan ilmu-Nya.
Yakinlah bahwa Allah Swt itu bersifat
rahman dan rahim. Semua surat
dalam Al-Quran dimulai dengan
‘ bismillahirrahmanirrahim’, sebagai
indikasi sifat yang paling menonjol
dalam diri-Nya adalah kasih dan
sayang. Dia tidak menurunkan
bencana kepada individu, suatu
umat, secara kebetulan, tanpa
berjalan sesuai dengan hukum
sebab akibat (kausalitas) dalam
sunnatullah (hukum sosial.
“Tidaklah Tuhanmu menghancurkan
negeri secara semena-mena
sedangkan penduduknya adalah
orang-orang yang berbuat baik. ”
(QS. Hud (11) : 117).
Dengan berbaik sangka kepada
Tuhan, kepahitan, bencana,
penderitaan, tekanan dan tantangan
kehidupan, tidak membuat kita
rapuh, stagnasi, berputus asa,
kehilangan pegangan. Kegagalan,
ketidakmapanan, justru kita
persepsikan sebagai modal yang
harus kita bayar untuk meraih
sukses. Pepatah bahasa arab
mengatakan: “Likulli mushibati
fawaaidu.” (setiap bencana
mengandung banyak manfaat).
Prasangka Baik
Cobalah direnungkan sejenak.
Seandainya peristiwa naas pesawat
terbang – yang akan membawanya,
tidak beliau ketahui lewat berita tadi –
apakah beliau akan menyadari kasih
sayang Tuhan yang telah
menghindarkannya dari malapetaka
dan musibah dengan
diurungkannya keberangkatannya
itu? Kemungkinan besar tidak.
Mungkin beliau akan tetap menyesal
karena tidak dapat memenuhi
kewajiban beliau terhadap keluarga.
Tetapi, setelah mengetahui semua
kejadian itu berjalan sesuai dengan
rencana suratan takdir-Nya, yang
melepaskannya dari kematian,
barulah beliau menyadari betapa
nikmat, rahmat, keadilan dan kasih
sayang Tuhan, yang terkandung di
balik musibah. Setelah kejadian itu,
ia telah meningkat menjadi manusia
yang pandai bersyukur dan selalu
memohon ampun atas sikap
negative thinking (su ’udzan) kepada
Allah Swt selama ini.
Ajaran positive thinking kepada Allah
swt yang dipahami, dihayati dan
diamalkan seseorang, akan memiliki
kecerdasan emosional
(wujdaniyyah), perasaan
(syu ’uriyyah), spiritual (ruhiyyah)
dalam memandang naik turunnya
kehidupan.
Setiap menemukan hambatan,
segera ia cari hikmahnya. Ia pandai
mengambil pelajaran, yang bisa
menambah kekayaan jiwa,
memperkuat sandaran vertikal,
memperkokoh stamina ruhani,
sebagai aset (bekal) untuk
meneruskan berbagai usaha
menuju kesuksesan yang lebih
besar dan selalu melibatkan-Nya.
Ketika orang lain tidak melihat
secercah harapan, bagi orang yang
melihat kejadian kehidupan dengan
kacamata bening selalu terngiang-
ngiang di dalam telinga batinnya
akan janji Allah Swt. “Ingatlah,
pertolongan Allah itu dekat.” (QS. Al
Baqarah (2) : 214). “Sesungguhnya
beserta kesulitan itu ada
kemudahan. ” (QS. Al Insyirah : 6).
Ayat Allah di atas menjelaskan
kesulitan dengan isim ma ’rifat
(definitif) “al ‘usr”, sedangkan
kemudahan memakai isim nakirah
(infinitif) “yusr”, ini menunjukkan
sesungguhnya setelah kesulitan
yang sedikit itu akan ditemukan
berbagai kemudahan.
Pesan penting berbaik sangka
kepada Allah Swt sejatinya
membangkitkan kelemahan jiwa,
menyalakan spirit batin,
menggerakkan potensi lahir dan
batin kemudian dikerahkannya
menuju kebangkitan kejiwaan.
Dengan berbagai musibah yang
melilit bangsa kita (udara, laut dan
daratan), selayaknya menyadarkan
kita untuk selalu intropeksi diri, dan
meyakinkan diri kita sesungguhnya
badai itu akan berlalu. Bencana
adalah tangga yang mesti dilewati
untuk mensucikan (tazkiyah),
mendidik (tarbiyah), memandu
(ta ’lim), dan mendongkrak (tarqiyah)
kualitas sikap mental dalam skala
kehidupan individu, keluarga,
masyarakat dan bangsa.

0 komentar:

Posting Komentar